09 Februari 2008

FOLLOWERSHIP

Masih ingat kisah Asterix dan Obelix? Ya, mereka adalah dua ksatria dari Galia yang memiliki kekuatan dari ramuan ajaib dan senantiasa membuat pasukan Romawi kocar-kacir. Suatu ketika dikisahkan Asterix, Obelix, dan sang dukun Panoramix memasuki suatu daerah yang diduduki oleh sebuah pasukan musuh yang sangat kuat. Hitung punya hitung, tiga orang Galia ini bisa saja mengalahkan seluruh pasukan tersebut dengan bantuan ramuan ajaib, namun karena sifat dari ramuan ajaib ini temporer, mereka khawatir akan kehabisan ramuan ajaib itu sebelum mereka bisa membereskan seluruh prajurit yang ada.

Akhirnya Panoramix menawarkan sebuah ide cemerlang. Daripada memberikan ramuan ajaib kepada Asterix dan dirinya (Obelix tidak pernah diberi ramuan ajaib karena pernah terjatuh ke panci berisi ramuan itu pada saat masih bayi), Panoramix justru bermaksud memberikan ramuan tersebut kepada beberapa pengawal musuh. Mengapa? Di sinilah cerdiknya Panoramix. Segera setelah meminum ramuan ajaib Panoramix, para pengawal tersebut merasa bahwa mereka bisa mengalahkan seluruh pasukan yang ada dan mendapatkan kekuasaan mutlak atas pasukan tersebut. Namun karena ada beberapa orang pengawal yang memiliki khasiat dari ramuan ajaib tersebut, maka terbentuklah kelompok-kelompok yang masing-masing mendukung salah satu dari pengawal yang sudah meminum ramuan ajaib tadi. Selanjutnya, mudah ditebak. Seluruh pasukan tersebut saling berebut kekuasaan sehingga akhirnya tercerai-berai dan kocar-kacir dengan sendirinya. Asterix, Obelix dan Panoramix pun berhasil meloloskan diri dengan mudah.

Kisah di atas memang menggelikan, namun sesungguhnya menyampaikan pesan yang sangat mendalam mengenai pentingnya followership atau kemampuan untuk menjadi pengikut. Topik mengenai followership sangat jarang dibahas dibandingkan leadership. Anda bisa dengan mudah mencari buku tentang leadership, namun akan kesulitan menemukan buku tentang followership. Demikian pula sangat banyak pelatihan dan seminar mengenai leadership tapi hampir tidak ada pelatihan atau seminar mengenai followership. Alasannya cukup jelas, kebanyakan orang ingin menjadi pemimpin seperti para pengawal tadi. Hanya saja ramuan ajaib yang digunakan bukanlah ramuan ajaib buatan Panoramix yang bila diminum langsung membuat tubuh kuat. Ramuan ajaib yang digunakan kita sekarang adalah kapabilitas yang kita bangun baik melalui pendidikan, pelatihan, networking dan kapital ataupun modal. Sebaliknya, menjadi seorang pengikut tidak membutuhkan ramuan ajaib.

Setiap orang bisa menjadi pengikut yang baik..., begitulah kira-kira mitos yang berkembang selama ini. Namun seperti mitos pada umumnya, pemahaman demikian tidaklah selalu benar adanya. Mengapa dibutuhkan sebuah keahlian untuk menjadi pengikut? Sebuah paradoks bukan? Seseorang menjadi pengikut, karena orang tersebut tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Begitulah kira-kira penjelasan logis dari pernyataan di atas. Hmm, menurut hemat saya, pendapat tersebut tidak sepenuhnya tepat. Mungkin benar bahwa menjadi follower tidak lebih sulit dibandingkan menjadi leader, namun agar seseorang bisa menjadi leader, maka ia membutuhkan follower bukan? Bahkan pada kenyataannya, seorang leader yang baik sesungguhnya juga merupakan seorang follower yang baik.

Alexander Agung belajar dengan tekun dan menjadi follower yang baik kepada gurunya Aristoteles; Pandit J. Nehru, salah satu perdana menteri terbaik yang pernah dimiliki India, merupakan follower setia Mahatma Gandhi. Mungkin anda bertanya-tanya, bila seseorang terus-menerus menjadi pengikut bagaimana ia bisa memiliki kemampuan untuk memimpin? Di sinilah perlunya kita memahami followership dengan benar.

Seorang follower yang baik bukan hanya mengikuti pemimpinnya seperti kerbau dicocok hidung, melainkan ia memahami, menghayati dan menjiwai visi dari sang pemimpin tersebut. Ia mempelajari semua karakter dan kapabilitas yang dimiliki oleh sang leader sehingga ia sebenarnya sedang berada di dalam gemblengan sang leader seperti halnya Gatotkaca berada di kawah Chandradimuka. Pada saat yang tepat, sang follower akan meneruskan tongkat kepemimpinan dari sang leader dan bila saat itu tiba, maka sang follower sudah sangat siap untuk menggantikan leader-nya.

Followership merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses pembentukan pemimpin masa depan. Para Jenderal menjadi ajudan pendahulunya sebelum akhirnya ia menjadi Jenderal sesungguhnya. Tentu saja calon Jenderal tersebut tidak akan dipromosikan menjadi Jenderal bila pada masa-masa ia menjadi ajudan tidak menjadi follower yang baik melainkan seorang pembangkang sejati. Pasti Jenderal atasannya sudah menghukum bahkan memecat ajudan calon Jenderal tersebut.

Di perusahaan-perusahaan Jepang, followership merupakan tradisi. Seorang Direktur akan ditugaskan menjadi ajudan Direktur pendahulunya. Calon Direktur tersebut akan ikut dalam semua pertemuan sang Direktur bahkan untuk pertemuan empat mata sekalipun. Hal ini sangat kontras dengan kenyataan bahwa banyak petinggi perusahaan dan pemerintahan di negara kita yang bahkan tidak tahu apa visi dan program kerja yang ditinggalkan oleh pendahulunya sehingga begitu ia menjabat, hal pertama yang dipikirkannya adalah membuat visi dan program baru. Bahkan beberapa perusahaan-perusahaan modern telah menerapkan follwership ini untuk mencetak para pemimpin dan Chief Executive Officer (CEO) yang hebat.

Mc Donald mengharuskan para pembeli franchise-nya untuk magang dan bekerja mulai dari sebagai petugas cleaning service, padahal orang tersebut adalah pengusaha yang memiliki modal miliaran rupiah untuk membeli sebuah franchise Mc Donald. Contoh yang paling fenomenal barangkali Jack Welch, mantan CEO General Electric yang pernah dinobatkan sebagai executive nomor satu dunia tersebut memulai karirnya untuk menjadi CEO dengan menjadi apprentice selama enam tahun dari CEO sebelumnya yaitu Reg Jones.

Baiklah, mungkin para pembaca masih bertanya-tanya, bagaimana dengan para pemimpin yang benar-benar harus menjadi pelopor sejak dari awal? Bagaimana dengn Gandhi, Walt Disney atau Sidharta Gautama yang tidak memiliki pendahulu? Sesungguhnya mereka tetap pernah menjadi follower. Hanya saja dalam kasus pemimpin perintis seperti mereka yang menjadi 'pembimbing' yang harus mereka ikuti bukanlah manusia, melainkan sesuatu yang lain. Untuk Gandhi yang menjadi pembimbingnya adalah tekadnya yang kokoh untuk membawa India merdeka (di samping buku dan kitab yang dipelajarinya). Untuk Walt Disney, yang menjadi pembimbingnya adalah impiannya yang kuat untuk melihat anak-anak yang bahagia. Dan untuk Sidharta Gautama, kegalauannya akan kepincangan yang ada di dalam masyarakat di sekitarnya telah menuntunnya untuk mendapatkan enlightenment atau pencerahan.

Apakah Anda bercita-cita untuk menjadi seorang pemimpin hebat suatu saat nanti? Siapkanlah diri Anda dari sekarang. Pastikan Anda menjadi seorang follower yang tulus. Suatu saat, akan tiba waktunya bagi Anda untuk menampilkan diri Anda sebagai seorang true leader. Pada saat itu Anda telah benar-benar siap karena sebelumnya Anda pernah menjadi seorang genuine follower.

(Sebuah perenungan bersumber dari: Lionmag Edisi Desember 2007, ditulis oleh Jemy V. Confido)

Tidak ada komentar: